ISSN 2477-1686
Vol. 11 No. 30 Maret 2025
Hikikomori Syndrome
Oleh:
Dewi Syukriah
Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia Y.A.I
Semua berawal dari munculnya telepon selular di tahun 1990-an, Dimana telepon selular menyebar dengan sangat cepat yang pada awalnya diperuntukkan untuk beberapa kalangan terbatas saja. Namun, dalam beberapa tahun setelahnya, Telepon selular tidak lagi ekslusif dan menjangkau ke hampir semua populasi. Ukuran telepon selular yang awalnya besar, secara bertahap semakin mengecil sehingga menjadi aksesori yang nyaman untuk digunakan setiap hari. Pada awalnya layanan yang ditawarkan hanya SMS, kemudian berkembang menjadi MMS dan berkembang lagi dengan layanan yang kita nikmati pada saat ini.
Pada tahun 2016, 62,9 % orang di seluruh dunia memiliki telepon selular, dan jumlah tersebut diperkirakan akan mencapai 67% pada tahun 2019 (Statista n.d). Di Tiongkok, kepemilikan telepon selular jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata global. Dari data Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia pada tahun 2015, Indonesia diperkirakan memiliki sekitar 55 juta pengguna telepon selular dan didominasi oleh masyarakat dengan usia produktif (15-64 tahun), dan Indonesia menjadi peringkat 5 besar pengguna telepon selular di dunia dan diperkirakan akan terus meningkat setelah 2017. Penggunaan telepon selular di kalangan remaja mencapai sembilan jam per hari dan terus meningkat setiap saat, sehingga penggunaan telepon selular menjadi lebih lama dibandingkan waktu yang dihabiskan untuk tidur (Griffiths, 1995). Hal inilah yang dapat memicu berbagai masalah baik secara fisik dan psikis terhadap kondisi kesehatan seseorang. Salah satunya adalah munculnya Hikikomori Syndrome.
Mungkin pada saat ini istilah Hikikomori syndrome terdengar tidak familiar di telinga kita. Namun syndrome ini sudah banyak tersebar di kalangan remaja ataupun dewasa awal pada saat ini. Istilah Hikikomori Syndrome pada awalnya di teridentifikasi di negara Jepang, dan didefinisikan sebagai ekspresi otentik dari isolasi, penolakan kontak sosial, di kalangan remaja yang disertai dengan masalah sosial di lingkungan sekitar dan keluarga (Koyama et.al., 2010; Teo, 2010). Fenomena sosial yang rentan terjadi pada kalangan remaja atau dewasa muda yang ditandai dengan menarik diri dari lingkungan sosial serta mengisolasi diri di rumah dalam jangka waktu lama. Penyebab dari Hikikomori Syndrome ini terjadi karena berbagai faktor yang saling berinteraksi satu dengan lainnya, seperti: faktor teknologi dan media sosial, adanya tekanan akademik, kecemasan sosial, adanya gangguan mental ataupun gangguan kecemasan, masalah dalam keluarga, adanya trauma ataupun mengalami perundungan di lingkungan sekolah, dan faktor ekonomi.
Pertumbuhan telepon selular yang semakin cepat sebagai satu penyebab dari munculnya Hikikomori Syndrome. Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan meningkatnya teknologi digital dan komunitas daring telah memberikan semacam pelarian. Individu dengan hikikomori sering kali membenamkan diri dalam kelompok online, yang dapat memberikan rasa nyaman dan lepas dari tekanan interaksi di dunia nyata. Seiring dengan munculnya individualisme dan media digital di semua kalangan, Hikikomori Syndrome merupakan gejala meningkatnya fenomena sosial di masyarakat modern, hal ini dikarenakan orang-orang semakin banyak memilih berkomunikasi secara daring dan mengurangi interaksi tatap muka, sehingga mengakibatkan penarikan diri dari masyarakat dan lingkungan sekitar (Takeda, 2009). Jika Hikikomori Syndrome ini terus berkelanjutan, tentu saja akan mempengaruhi kualitas hidup dari seorang individu baik secara fisik maupun secara psikis.
Lalu, bagaimana caranya untuk mengatasi atau membuat seseorang terlepas dari sindrom ini? Menurut Wong (2017) Perawatan untuk hikikomori pada umumnya lebih bersifat psikoterapi daripada pengobatan berbasis obat. Di Jepang, orang dengan hikikomori dapat pergi ke pusat kesehatan medis, bergabung dengan pusat sosial masyarakat untuk bisa berkomunikasi dengan orang lain, atau berpartisipasi dalam kegiatan terapi sebagai cara untuk menarik mereka keluar dari isolasi fisik dan sosial. Terapi dapat dilakukan dengan terapi individu, kelompok, ataupun terapi keluarga, atau bisa juga dilakukan kombinasi dari semua terapi tersebut. Peranan keluarga sangat penting dalam pelaksanaan terapi, karena pada umumnya pasien hikikomori sering kali menolak menghadiri sesi terapi. Diharapkan dengan kehadiran anggota keluarga akan membantu untuk mengurangi stigma negatif kondisi tersebut serta dapat mempelajari strategi untuk berkomunikasi dengan pasien. Selain psikoterapi, dukungan kunjungan rumah, terapi dengan menggunakan Binatang peliharaan, terapi musik dan olahraga juga telah terbukti membantu dalam mengurangi durasi hikikomori.
Perlu di ingat bahwa fenomena Hikikomori Syndrome ini bukan hanya terjadi di Jepang, namun pada saat ini sudah meluas ke semua negara di dunia, termasuk Indonesia. Diperlukan kerjasama dari keluarga, teman, dan lingkungan sosial lainnya untuk mengurangi angka pertumbuhannya. Meluangkan waktu dan mengobrol bersama dengan anggota keluarga lainnya serta diterapkan adanya kontrol terhadap penggunaan telepon selular adalah langkah-langkah kecil namun cukup efisien yang dapat dilakukan di rumah sebagai lingkungan terdekat dari seorang individu.
Referensi:
Griffiths, M. D. (1995). Technological addictions. Clinical Psychology Forum, 76, 14–19.
Koyama A., Miyakea Y., Kawakami N., Tsuchiya M., Tachimoria H., & Takeshima T. (2010). Lifetime prevalence, psychiatric comorbidity and demografic correlates of “hikikomori” in a community population in Japan. Psychiatry Research. 176. 69-74. https://doi.org/10.1016/j.psychres.2008.10.019.
Statista (n.d.). Number of mobile phone users worldwide from 2013 to 2019 (in billions).Retrieved March 3, 2025, from: https://www.statista.com/statistics/274774/forecast-of-mobile-phone-users-worldwide/
Takeda T. (2009). Ko to Shuudann no aida wo yurageru Infura wo.Nikkei Design 1998;2:38-43.
Teo A.R. (2010). A new form of social withdrawal in Japan: A review of hikikomori. International Journal of Social Psychiatry. 56. 178-185. https://doi.org/10.1177/0020764008100629
Wong, P.W.C., Liu, L.L., Li, T.M.H., Kato, T.A., & Teo, A.R. (2017). Does hikikomori (severe social withdrawal) exist among young people in urban areas of China? Asian Journal of Psychiatry, 30, 175–176.