ISSN 2477-1686
Vol. 11 No. 30 Maret 2025
Menggugat Stereotip Gender:
Antara Laki-laki dan Tangisannya
Oleh:
Beneto Ariyoso & Ignatius James Lim
Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang, menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
-Chairil Anwar
Stereotip Gender: Laki-laki di mata masyarakat
Seberapa sering Anda melihat seorang laki-laki menangis di depan orang banyak? atau ketika menonton film sedih? Chairil Anwar, dalam puisinya “Aku”, secara tegas membawakan situasi penderitaan dan rasa sakit yang dipikul tanpa tangis, tetapi dipendam sebagai sesuatu yang tidak memerlukan tangisan. Seakan-akan menangis adalah suatu hal yang menunjukkan emosi terlalu berlebihan. Begitu pula digambarkan oleh judul buku karya Rusdi Mathari, “Laki-laki Memang Tidak Menangis, Tapi Hatinya Berdarah,” menekankan bahwa laki-laki sejatinya tidak boleh menangis, terutama ketika dihadapkan dengan rasa sakit yang hanya berhubungan dengan perasaan.
Di abad pertengahan, melalui cerita-cerita perang Heike Monogatari dari Jepang, ataupun Beowulf, puisi heroik yang berasal dari Eropa menggambarkan bagaimana laki-laki diperbolehkan menangis, dengan syarat karena peperangan, penderitaan, bukan sebatas karena rasa kesepian, maupun kesedihan yang sifatnya feminin dan romantik. Fenomena ini pun tergambar dalam hasil data statistik yang menunjukkan bahwa frekuensi menangis pada perempuan lebih besar daripada laki-laki (Vingerhoets, 2013 dalam Sharman et al., 2019).
Menurut Ramdani et al (2022), terdapat beberapa pandangan masyarakat yang melekat pada gender laki-laki sebagai standar, seperti misalnya (1) pemaknaan menangis dan mengeluh sebagai indikasi kelemahan yang tidak boleh ditunjukkan; (2) diharuskan untuk berkuasa atau menjadi dominan terhadap orang lain; (3) berani mengambil resiko meskipun harus menggunakan kekerasan; (4) sukses menjadi tulang punggung bagi keluarga. Esensi maskulinitas dipertegas melalui kekuasaan atau dominasi, mengutamakan aksi, kekuatan, dan kemandirian (Barker dalam Nashrulloh, 2018).
Konstruksi Sosial: Apakah wajar bagi seorang laki-laki untuk menangis?
Menangis adalah cermin dari emosi atau reaksi dari kesedihan, rasa sakit, ataupun kemarahan (Bellieni, 2017). Secara biologis, wanita mungkin lebih sering menangis dibandingkan pria karena hormon prolaktin yang lebih tinggi pada wanita dapat mendorong tangisan, sementara testosteron pada pria dapat menghambatnya (Collier, 2014). Dalam konstruksi sosial tradisional, khususnya di banyak budaya patriarki, laki-laki sering kali diajarkan bahwa menangis adalah tanda kelemahan dan tidak maskulin (Vingerhoets, 2013).
Penyebab seseorang menangis didasarkan pada level stimulus yang berbeda oleh setiap individu. Salah satu cerminan gaya keterikatan aman adalah dengan mengekspresikan emosi dengan cara menangis dalam batas normal yang wajar (Kay, 2005). Namun, penelitian menunjukkan bahwa menangis memiliki manfaat psikologis dan fisiologis yang penting, seperti melepaskan stres dan meningkatkan mood (Rottenberg, 2009). Selain itu, anggapan bahwa semakin dewasa seseorang semakin jarang menangis tidak sepenuhnya benar.
Faktor-faktor seperti situasi emosional, tingkat stres, dan dukungan sosial juga memainkan peran penting dalam frekuensi menangis pada orang dewasa (Denckla, Fiori & Vingerhoets, 2014). Menangis bukanlah emosi berlebihan, melainkan cara manusia mengekspresikan emosi yang mendalam dan kompleks. Tidak ada batasan yang pasti kapan seseorang boleh atau tidak boleh menangis; penting untuk menghargai emosi dan kebutuhan individu akan ekspresi emosional (Bylsma, Croon, Vingerhoets & Rottenberg, 2011). Penelitian ini menegaskan bahwa menangis adalah bagian alami dari pengalaman manusia dan tidak seharusnya dikaitkan dengan kelemahan atau kedewasaan.
Sejak dini, orang tua cenderung untuk mendorong anak laki-laki menunjukkan ekspresi kemarahan daripada ekspresi kesedihan (Sharman et al., 2019). Fenomena konstruksi sosial ini diperkuat dengan penelitian pada 30 negara yang dilakukan oleh Becht dan Vingerhoets (2002, dalam Sharman et al., 2019) berdasarkan self-report, terdapat perbedaan yang signifikan antara rasa malu yang dirasakan oleh laki-laki lebih besar daripada perempuan ketika menangis. Hal ini dipengaruhi oleh seberapa ‘wajar’ perilaku menangis dipandang pada masing-masing kultur.
Reinterpretasi: Untuk apa menangis?
Terlepas dari gendernya, semua bayi manusia menangis sebagai sarana berkomunikasi, baik untuk menyatakan kelaparan, kemarahan, dan kebutuhan dasar lainnya (Santrock, 2019). Menangis memiliki hubungan positif dengan menenangkan suasana hati melalui peningkatan aktivitas parasimpatik, nerve-growth factor (NGF), serta pelepasan opioid endogen (Gračanin et al., 2014). Menangis ketika melihat situasi sensitif tertentu menandakan bahwa seseorang memiliki empati sebagai respons atas perasaan atau situasi (Jumardi, 2018). Di sisi lain, menangis juga menunjukkan fungsi kesehatan yang baik, melihat bagaimana beberapa orang memiliki Sjorgen Syndrome, yang membuat mata dan mulut orang terkait kering sehingga tidak dapat mengeluarkan air mata.
Berdasarkan sudut pandang psikologi, menangis juga berhubungan dengan sarana coping mechanism. Menurut Algorani dan Gupta (2023), mekanisme coping adalah pikiran dan perilaku untuk mengelola situasi yang memicu stress baik secara internal maupun eksternal. Mekanisme coping berfungsi untuk meminimalisir tekanan atas stress dan dibedakan menjadi dua jenis utama (Lazarus dan Folkman, 1984, dalam Santrock, 2019), yaitu: (1) problem-focused coping, yang terarah pada penyelesaian masalah; (2) emotional-focused coping, yang diarahkan pada reaksi emosi dan perasaan seperti menangis. Dapat disimpulkan bahwa menangis bermanfaat untuk menenangkan hati, menandakan bahwa seseorang memiliki empati dan memiliki fungsi kesehatan yang baik, serta berperan untuk mengelola stress melalui mekanisme emotional-focused coping.
Penutup
Oleh karena itu, menangis merupakan salah satu aspek coping yang penting dan telah menjadi bagian dari sejarah adaptasi manusia untuk menstabilkan suasana hati serta mengkomunikasikan kesedihan. Meskipun mekanisme pasti di balik efek menangis belum sepenuhnya dipahami dan memerlukan penelitian lebih lanjut, bukti menunjukkan bahwa menangis adalah respon emosional yang kuat dan signifikan. Pendapat umum yang menganggap menangis sebagai respons "ringan" atau "lemah" terhadap stres perlu ditinjau ulang agar tidak menjadi stigma masyarakat.
Selain itu, stereotip gender yang menganggap bahwa menangis tidak sesuai dengan kejantanan seorang pria tidaklah relevan. Menangis adalah respons emosional yang wajar dan alami yang tidak mempengaruhi kejantanan atau maskulinitas. Menghargai emosi setiap individu dan mengakui pentingnya menangis sebagai bagian dari pengalaman manusia yang sehat adalah langkah penting menuju kesejahteraan psikologis yang lebih baik. Dengan demikian, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan memahami, di mana setiap orang merasa bebas untuk mengekspresikan emosinya tanpa takut akan diskriminasi.
Referensi
Algorani, E. B., & Gupta, V. (2023). Coping Mechanisms. In StatPearls. StatPearls Publishing.
Bellieni, C. V. (2017). Meaning and importance of weeping. New Ideas in Psychology, 47, 72-76.
Bylsma, L. M., Croon, M. A., Vingerhoets, A. J., & Rottenberg, J. (2011). When and for whom does crying improve mood? A daily diary study of 1004 crying episodes. Journal of Research in Personality, 45(4), 385-392.
Collier, L. (2014, February). Why we cry: New research is opening eyes to the psychology of tears. Monitor on Psychology, 45(2), 47. https://www.apa.org/monitor/2014/02/cry
Denckla, C. A., Fiori, K. L., & Vingerhoets, A. J. (2014). Development of the crying proneness scale: associations among crying proneness, empathy, attachment, and age. Journal of Personality Assessment, 96(6), 619-631.
Gračanin, A., Bylsma, L. M., & Vingerhoets, A. J. (2014). Is crying a self-soothing behavior? Frontiers in psychology, 5. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2014.00502
Jumardi, A. (2018, December 9). Psikologi menangis. Pascasarjana PTIQ https://pascasarjana-ptiq.ac.id/news/read/10-psikologi-menangis
Kay, J. (2005). Seeing Through Tears: Crying and Attachment.
Nashrulloh, M. S. (2018). Maskulinitas laki-laki pedesaan: Studi citra tubuh laki-laki di pusat kebugaran [Tesis Sarjana, Universitas Airlangga]. Repositori UNAIR. https://repository.unair.ac.id/80340/
Ramdani, M. F. F., Putri, A. V. I. C., & Wisesa, P. A. D. (2022). Realitas toxic masculinity di masyarakat [Paper presentation]. Dalam Prosiding Seminar Nasional Ilmu-Ilmu Sosial (SNIIS) 2022 (Vol. 01, pp. 230-235). Universitas Negeri Surabaya
Santrock, J. W. (2019). Life-span development (17th ed.). McGraw-Hill Education
Sharman, L. S., Dingle, G. A., Baker, M., Fischer, A., Gračanin, A., Kardum, I., Manley, H., Manokara, K., Pattara-Angkoon, S., Vingerhoets, A. J. J. M., & Vanman, E. J. (2019). The Relationship of Gender Roles and Beliefs to Crying in an International Sample. Frontiers in psychology, 10, 2288. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2019.02288
Vingerhoets, A. (2013). Why only humans weep: Unravelling the mysteries of tears. OUP Oxford.
Vingerhoets, A. J. J. M., Bylsma, L., Rottenberg, J., & Fögen, T. (2009). Crying: A biopsychosocial phenomenon. Tears in the Graeco-Roman world, 439-475.