ISSN 2477-1686
Vol. 11 No. 25 Januari 2025
Ketika Kata Menjadi Senjata:
Mengupas Bahaya Kekerasan Verbal Orang Tua dalam Perkembangan anak
Oleh:
Aulia Namira
Program Studi Psikologi, Universitas Pendidikan Indonesia
Kekerasan verbal seringkali ditemui dan tidak disadari dalam hubungan antara anak dan orang tua. Kekerasan verbal biasanya muncul sebagai bentuk pengungkapan emosi dari orang tua terhadap anak. Sayangnya, kekerasan verbal yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak seringkali disepelekan, padahal dampaknya akan sangat serius terhadap perkembangan anak kedepannya. Kekerasan verbal didefinisikan sebagai tindakan lisan atau perilaku yang menimbulkan konsekuensi emosional yang merugikan (Suspramirda et al., 2022). Fitriana et al. (2015) membagi kekerasan verbal menjadi 6 jenis yaitu tidak sayang atau dingin, intimidasi, mengecilkan dan mempermalukan orang, kebiasaan mencela, mengindahkan atau menolak, dan hukuman ekstrim. Dalam kasus ini, contoh kekerasan yang dilakukan orang tua pada anak seperti: “dasar anak bodoh!”, “dasar anak berguna!”, “saya menyesal telah melahirkan kamu!”, atau kata-kata lain yang mampu menyakiti perasaan sang anak. Lestari (dalam Armiyanti et al., 2018) menjelaskan bahwa Kekerasan verbal yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak dapat menimbulkan luka yang mendalam pada kehidupan dan perasaan seorang anak, bahkan melebihi luka dari perkosaan.
Jiwandono (2018) berpendapat bahwa kekerasan terhadap anak terjadi akibat kombinasi dari berbagai faktor seperti personal, sosial, kultural. Adapun menurutnya faktor orang tua, lingkungan sosial, dan faktor dari anak itu sendiri juga menjadi penyebab dari kekerasan verbal. Orang tua merupakan faktor utama terjadinya kekerasan pada anak, hal ini dapat disebabkan karena orang tua yang masih dibawah umur sehingga belum memiliki kematangan emosi yang baik, pola asuh penganiayaan, pecandu minuman keras dan obat-obatan terlarang, dan lain-lain. Lingkungan sosial juga penyebab terjadinya kekerasan pada anak seperti kondisi sosial ekonomi yang rendah, diskriminasi status gender, masyarakat individualis, dan stigma bahwa anak milik orang tua sendiri yang menyebabkan anggapan bahwa orang tua bebas memperlakukan anak sesuai keinginannya. Terakhir, faktor dari anak itu sendiri dapat menyebabkan kekerasan verbal seperti menderita gangguan perkembangan dan menderita penyakit kronis yang disebabkan ketergantungan anak pada lingkungan atau perilaku menyimpang pada anak.
Kekerasan verbal yang dilakukan oleh orang tua kepada anak memberikan berbagai dampak negatif dalam perkembangan anak. Kekerasan verbal dapat memicu berbagai gangguan emosional seperti kecemasan, depresi, rasa takut yang berlebihan, dan perasaan tidak aman. Penelitian dari Fitriahadi & Rosida (2023) menyebutkan bahwa anak yang tumbuh dalam lingkungan dengan kekerasan verbal cenderung merasa tidak berharga dan kesulitan mengungkapkan emosi yang sehat. Selain itu, ketika anak mengalami penghinaan dan kritik secara berlebihan, perilaku agresif atau menarik diri dari lingkungannya akan cenderung muncul sebagai bentuk defence mechanism dirinya terhadap situasi tersebut atau antisipasi dari kemungkinan munculnya situasi tersebut (Winarti et al., 2021). Adapun, berdasarkan teori behavioral Skinner, kekerasan verbal dapat menjadi punishment negative yang memperkuat perilaku buruk atau menekan perilaku positif anak.
Berdasarkan teori perkembangan psikososial Erikson, kekerasan verbal dapat merusak self-efficacy dan self-esteem anak yaitu perasaan malu, rendah diri, dan ketidakmampuan untuk membentuk identitas yang kuat. Anak-anak yang mengalami kekerasan verbal seringkali tidak menyadari kekerasan verbal yang terimanya, sehingga anak akan merasa bahwa semua hal-hal buruk yang dikatakan oleh orang tua adalah benar dan merekalah yang salah. Hal ini dilandasi dari rasa sakit hati yang diterima oleh anak akibat perlakuan orang tuanya. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap tumbuh kembang sang anak kedepannya (Awal et al., 2022). Kekerasan verbal yang dialami anak juga dapat menyebabkan anak tidak berani bertindak sesuai keinginannya. Biasanya mereka malu untuk bertindak karena telah mendapat kecaman duluan sebelum melakukan suatu hal (Noh & Talaat, 2012).
Kekerasan verbal tidak hanya berdampak pada fisik dan psikis anak, tetapi juga dapat merusak perkembangan kognitif anak beberapa tahun kedepan. Kekerasan verbal berhubungan dengan fungsi neurologis dimana anak yang mengalami kekerasan verbal memiliki kerentanan kognitif termasuk kemampuan belajar anak sehingga berdampak pada prestasi akademik dan hubungan sosialnya (Fitriahadi & Rosida, 2023; Kochar et al., 2015). Hal tersebut sejalan dengan teori kognitif dari Piaget yaitu kekerasan verbal dapat menyebabkan anak menginternalisasi pesan-pesan negatif dari orang tua dan membentuk distorsi kognitif, dimana hal tersebut dapat mempengaruhi kemampuan anak untuk belajar dan memecahkan masalah. Menurut penelitian dari Fikriyyah (2022) anak yang menerima kekerasan verbal cenderung mengalami penurunan akademik karena sulit berkonsentrasi dan kesulitan untuk menjalin hubungan dengan teman sebayanya.
Perlu dipahami bahwa kekerasan verbal bukan hanya sekedar kata-kata kasar yang singgah sesaat ketika kata tersebut dilontarkan. Kekerasan verbal merupakan senjata berbahaya yang dapat meninggalkan luka permanen pada diri anak baik secara fisik, psikis, dan kognitif. Kesadaran orang tua terhadap bahaya ini harus ditingkatkan agar terjalin komunikasi yang lebih baik dan bijaksana dengan anak sehingga terciptanya lingkungan yang mendukung tumbuh kembang anak secara optimal.
Referensi:
Armiyanti, I., Aini, K., & Apriana, R. (2018). Pengalaman kekerasan verbal oleh keluarga pada anak usia sekolah di kota semarang. Jurnal Keperawatan Soedirman, 12(1), 12–20.
Awal, R. N., Hamiyati, & Laras Nugraheni, P. (2022). Pengaruh kekerasan verbal orangtua terhadap konsep diri remaja. Jurnal Penelitian Dan Pengukuran Psikologi: JPPP, 11(02), 90–96. https://doi.org/10.21009/jppp.112.05
Fikriyyah, H. faiha, Nunung, R. N., & Santoso, M. B. (2022). Dampak pola asuh otoriter terhadap perkembangan psikososial anak usia prasekolah. Jurnal Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat (JPPM), 3(1), 11–17.
Fitriahadi, E., & Rosida, L. (2023). Kekerasan verbal ibu mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Jurnal Ilmu Kesehatan, 11(2).
Fitriana, Y., Pratiwi, K., Vita, S. A. K., & Bantul, S. (2015). Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku orang tua dalam melakukan kekerasan verbal terhadap anak usia pra-sekolah. Jurnal Psikologi Undip, 14(1), 81–93.
Jiwandono, G. A. (2018). Hubungan antara verbal abuse orang tua dengan kecemasan remaja usia 11-14 tahun di kelurahan tlogomas malang (Doctoral dissertation, University of Muhammadiyah Malang).
Kochar, R., Ittyerah, M., & Babu, N. (2015). Understanding aggression and trauma in early life: verbal abuse and cognition in the developing mind. Journal of Aggression, Maltreatment and Trauma, 24(1), 1–19.
Noh, C. H. C., & Talaat, W. I. A. W. (2012). Verbal abuse on children: does it amount to child abuse under the malaysian law?. Asian Social Science, 8(6), 224–228. https://doi.org/10.5539/ass.v8n6p224
Winarti, S., Taib, B., Alhadad, B., & Achmad, F. (2021). Analisis dampak covid-19 dalam proses pembelajaran daring pada kelas b4 di paud telkom ternate. Jurnal Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini.