ISSN 2477-1686
Vol. 11 No. 25 Januari 2025
Agile pada Konteks Perubahan Pasar Kerja
Oleh:
Nicholas Simarmata1 & Dian Jayantari Putri K. Hedo2
1 Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana
2 Kementerian Kependudukan Dan Pembangunan Keluarga
Industri teknologi tinggi di era digital yang terus berkembang saat ini menghadapi tantangan yang signifikan dalam hal perekrutan dan retensi karyawan. Survei yang dilakukan oleh Mercer Indonesia menunjukkan bahwa tren perekrutan karyawan pada tahun 2025 cenderung menurun, yaitu hanya terdapat 25% perusahaan yang berencana menambah karyawan baru melalui sistem perekrutan. Situasi ini diperburuk oleh kesulitan dalam merekrut dan mempertahankan talenta di bidang-bidang tertentu seperti bidang penjualan, pemasaran, manajemen produk, ilmu sains, serta teknologi informasi dan telekomunikasi. Hal ini menunjukkan perlunya pihak manajemen melakukan pendekatan baru dalam mengelola karyawan untuk memastikan keberlanjutan operasional organisasi (Mediana, 2024).
Pendekatan yang dapat organisasi gunakan adalah dengan menggunakan konsep karyawan agile. Istilah ini merujuk pada kemampuan karyawan untuk beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan dan belajar keterampilan baru. Dalam konteks industri teknologi tinggi, karyawan agile adalah karyawan yang dapat beradaptasi dengan cepat terhadap teknologi baru, proses bisnis, dan tantangan pasar. Mereka tidak hanya memiliki keterampilan teknis yang diperlukan tetapi juga kemampuan untuk belajar dan beradaptasi secara terus-menerus (Junker et al., 2022).
Pada awalnya, agile adalah cara kerja yang dikembangkan oleh komunitas pengembangan perangkat lunak. Namun seiring berjalannya waktu, agile merupakan karakteristik kerja yang telah melampaui pekerjaan berbasis proyek dan saat ini menjadi cara kerja yang mencakup seluruh organisasi. Sebenarnya konsep agile bukan merupakan suatu konsep baru karena makna terkait agile telah terdapat di dalam diri dan sifat manusia yang berpusat pada fleksibilitas dan kreativitas. Pendekatan agile mengakui, memprioritaskan, dan menghormati individu, mendorong kolaborasi lintas fungsi, serta merangkul perubahan. Agile merupakan konsep dasar yang mengedepankan adaptabilitas dan perubahan yang penting untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan individu sebagai karyawan serta organisasi. Agile berkembang menjadi budaya dan sistem nilai yang diterima dan diadopsi secara luas di semua tingkat organisasi. Organisasi perlu mengadopsi agile sebagai cara kerja yang menghasilkan nilai nyata. Organisasi yang agile cenderung lebih siap menghadapi tantangan kerja dibandingkan organisasi yang kaku dan mekanis. Organisasi yang agile juga lebih siap memanfaatkan dan mengolah data besar, serta melakukan pengambilan keputusan berbasis data.
Agile adalah proses dan cara berpikir yang memungkinkan peningkatan dan pembelajaran berkelanjutan. Adanya agile di dalam organisasi dapat membawa perubahan dalam cara berpikir karyawan di tempat kerja. Lingkungan kerja yang agile semakin mengadopsi pendekatan kolaboratif yang memerlukan kepercayaan yang signifikan di antara individu dibandingkan dengan cara kerja tradisional yang mekanis. Ketika nilai-nilai agile seperti kepercayaan, kejujuran, kesederhanaan, dan keberanian diperkenalkan maka hal itu memerlukan kesadaran yang jauh lebih besar (Unhelkar, 2024). Hal ini mengalihkan fokus para pemimpin dari pendekatan yang kaku dan mekanis ke praktek yang lebih kolaboratif, komunikatif, dan berbasis kepercayaan. Hal tersebut menyebabkan proyek pengembangan tidak lagi terobsesi dengan perencanaan berlebihan di awal, analisis berlebihan, dan produk kerja yang terisolasi. Agile membawa pendekatan yang berbasis kolaborasi untuk menghasilkan solusi yang lebih praktis dan bernilai tambah yang sejalan dengan kebutuhan bisnis organisasi.
Dalam menghadapi tantangan bisnis yang semakin kompleks, konsep agile merupakan hal penting bagi organisasi. Karyawan yang dapat beradaptasi dan belajar dengan cepat, serta dapat mengembangkan keterampilan baru merupakan modal yang berharga bagi organisasi dalam menghadapi tantangan kerja. Hal tersebut dapat diupayakan oleh organisasi dengan berinvestasi pada pelatihan dan pengembangan, menciptakan budaya pembelajaran, dan menggunakan teknologi pembelajaran sehingga organisasi dapat memiliki karyawan yang siap menghadapi perubahan dan tuntutan pasar kerja.
Prinsip agile dalam organisasi juga dapat diterapkan dalam bidang rekrutmen karyawan. Rekrutmen adalah bagian dari perencanaan strategis terkait sumber daya manusia, dalam hal ini adalah karyawan suatu organisasi, yang merupakan mekanisme inti dalam mengisi posisi yang diperlukan untuk mengerjakan suatu pekerjaan. Rekrutmen tidak hanya melibatkan aktivitas administratif dan operasional yang dilakukan dalam organisasi, namun juga mengupayakan berbagai proses penting dalam menjamin keberlangsungan sumber daya manusia atau karyawan di organisasi (Hedo, 2023). Rekrutmen mencerminkan apa yang perlu dicapai oleh organisasi saat merekrut kandidat karyawan. Maka dari itu organisasi dapat melakukan pemikiran kritis untuk menuntun tindakannya melalui pengajuan serangkaian pertanyaan pada saat rekrutmen seperti; Apakah praktek organisasi sejalan dengan prinsip-prinsipnya? Apakah prinsip-prinsip tersebut tampak dapat dicapai atau terlalu berlebihan dari perspektif organisasi? Meskipun agile memiliki peran penting dalam pelaksanaan rekrutmen karyawan, namun saat ini rekrutmen yang dilakukan oleh organisasi belum optimal dalam menerapkan pendekatan agile (Thoren, 2017).
Praktisi human capital di organisasi cenderung memiliki strategi, praktek, pertanyaan wawancara, dan proses perekrutan yang khas sesuai kondisi organisasinya. Terkait dengan hal itu, karyawan perlu disosialisasikan pada nilai-nilai inti organisasi sebelum mereka mulai bekerja untuk menghindari dan meminimalisir kesalahan organisasi dalam melakukan perekrutan. Apabila organisasi mengambil keputusan yang buruk dalam proses rekrutmen, maka hal tersebut dapat memberikan dampak negatif secara berkelanjutan dan jangka panjang bagi organisasi. Organisasi dapat memerlukan sumber daya yang cukup banyak untuk menggantikan atau menutup kerugian yang ditimbulkan dari keputusan merekrut karyawan yang berkinerja rendah dan terbatas tersebut. Selain itu, keputusan buruk yang diambil organisasi ketika melakukan rekrutmen juga dapat mempengaruhi dinamika internal sumber daya manusia di dalam organisasi (Hedo, 2023).
Proses perekrutan karyawan di organisasi perlu menekankan pada beberapa hal berikut yaitu dalam melakukan rekrutmen organisasi perlu menghargai individu dan interaksi daripada proses dan alat, perekrutan cepat dan berkualitas daripada dokumentasi komprehensif, kolaborasi dengan pelanggan daripada negosiasi kontrak, dan merespons perubahan daripada mengikuti rencana yang kaku. Jadi dapat dikatakan bahwa manajemen talenta atau rekrutmen dimulai sebelum kandidat karyawan mengisi posisi di sebuah organisasi, sehingg kandidat karyawan perlu belajar “mengenal” organisasi calon tempatnya bekerja dan memahami kebutuhan pekerjaan yang akan dijalankannya. Pada hal inilah konsep agile dapat memiliki peran penting dalam proses dan dinamika kerja di dalam suatu organisasi, yang dimulai sejak proses rekrutmen karyawan.
Referensi
Hedo, D. J. P. K. (2023) ‘Rekrutmen Sumber Daya Manusia’, in Sulung, N. (ed.) Manajemen Sumber Daya Manusia Kesehatan. Padang: PT Global Eksekutif Teknologi.
Junker, T. L. et al. (2022) ‘Agile work practices and employee proactivity: A multilevel study’, Human Relations, 75(12), pp. 2189 –2217.
Mediana (2024) ‘Perekrutan Karyawan Baru Cenderung Turun’, Kompas, 13 December.
Thoren, P.-M. (2017) Agile People: A Radical Approach for HR and Managers (That Leads to Motivated Employee). Nevada: Lioncrest.
Unhelkar, B. (2024) Psychology of Agile: Exploring the Human Element at Work. New York: Taylor & Francis Group.