ISSN 2477-1686
Vol. 11 No. 35 Juni 2025
Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Program ‘Yang Buruk Masuk Barak’
Oleh:
Abu Bakar Fahmi
Program Studi Psikologi Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka Jakarta
Kepercayaan pada diri sendiri (self-confidence) hanya bisa disusun melalui latihan dan ujian terus-menerus sepanjang masa. Percaya atas kemampuan sendiri dan batas kemampuannya. Kepercayaan pada diri sendiri –seperti halnya semua sifat watak—tidak bisa disusun dengan nasihat, pidato, khotbah, sandiwara, simulasi, atau cara lain yang verbalitas. Pidato, sandiwara, dan semacamnya hanyalah menyampaikan pengertian, tidak lebih dari pengertian. Pengertian perlu disambung dengan latihan dan ujian terus-menerus (conditioning atau habit formation), baru akan tersusun kebiasaan bertindak hari demi hari, menjadi kekuatan mutlak. Pengertian tanpa dilaksanakan hari demi hari adalah sifat munafik.
R. Slamet Iman Santoso (Warna-warni Pengalaman Hidup, 1992, hlm 55-56)
Meski bukan naskah buku atau tugas akhir, izinkan saya mengawali tulisan ini dengan menyampaikan ucapan terima kasih. Terima kasih saya sampaikan kepada Gubernur Jawa Barat Bapak Dedi Mulyadi atas program yang Bapak canangkan berupa mengirim siswa yang dinilai bermasalah ke barak militer. Atas program Bapak inilah saya tergerak untuk memberikan komentar berdasarkan sudut pandang ilmu psikologi. Tulisan ini mengurai mengenai apa saja yang bisa kita pelajari dari program tersebut. Berikut ini beberapa catatannya.
Pertama, program tersebut membunyikan sirine bahwa sistem pendidikan nasional yang dijalani saat ini belum memberikan hasil sebagaimana seharusnya, yakni “berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Saat Bapak Gubernur mengatakan bahwa “sekolah tidak dapat menyelesaikan masalah remaja di Jawa Barat,” sebagaimana dikabarkan oleh sejumlah media, Bapak Gubernur sedang memberikan evaluasi yang mendasar mengenai fungsi sekolah selama ini, yang berarti juga mengevaluasi sistem pendidikan nasional.
Pada prinsipnya, tujuan pendidikan sebagaimana tertuang dalam UU di atas adalah pembentukan karakter. Namun, proses pendidikan di sekolah-sekolah kita mungkin belum mencapai sana. Untuk sekedar bukti anekdotal, anak saya yang duduk di bangku kelas 5 SD mengeluh karena mata pelajaran Pendidikan Pancasila materinya diuang-ulang terus sampai ia merasa bosan. Mata pelajaran mengutamakan materi, atau dalam istilah R. Slamet Iman Santoso, perintis ilmu psikologi di Indonesia, hanya menyampaikan pengertian. Sebuah kajian kualitatif mengenai implementasi pendidikan moral yang melibatkan guru-guru Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama di sekolah-sekolah di Yogyakarta menemukan bahwa pendidikan moral telah diterapkan dalam kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah mereka namun terbatas pada dimensi pengetahuan, tidak diinternalisasi dalam perilaku moral siswa sehari-hari (Waterworth, 2023).
Dalam taksonomi kognitif, pengertian, pengetahuan, atau bisa juga disebut pemahaman, merupakan jenis berpikir tingkat dasar. Padahal, untuk membentuk karakter, siswa tidak cukup diajak berpikir, apalagi kecakapan berpikir tingkat dasar. Siswa perlu diajak untuk merasa dan bertindak. Dalam konsep pendidikan karakter, suatu karakter baik harus dipahami dalam tiga aspek, yakni kognitif, afektif dan perilaku. Agar siswa dapat belajar karakter, siswa tidak hanya perlu mengetahui karakter tersebut (moral knowing), tapi juga harus merasakan (moral feeling) dan melakukan (moral action) (Lickona, 1999). Untuk itu, mendidik karakter yang melibatkan perasaan dan tindakan, bukan hanya pemahaman, perlu dihadirkan di ruang kelas-ruang kelas sekolah kita.
Kedua, penyelenggaraan pendidikan di Indonesia disebut dengan sistem pendidikan nasional, namun program ini justru tidak melihat penyelenggaraan pendidikan sebagai sebuah sistem. Sebagai sebuah sistem, penyelenggaraan pendidikan melibatkan keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait dan bersatu padu untuk mencapai tujuan pendidikan (komponen yang mencakup antara lain tujuan, kurikulum, evaluasi, peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, jenjang pendidikan, pendanaan, dan peran pemerintah, orangtua, dan masyarakat). Dalam UU Sistem Pendidikan Nasional, penanggug jawab pengelolaan sistem pendidikan nasional adalah menteri yang mengurusi pendidikan. Namun, alih-alih penyelenggara pemerintahan tergerak untuk berpikir sistemik melalui penyelenggaraan pendidikan yang tersistem, yang sekarang terjadi justru penyelenggara pemerintahan berpikir linear, kalau tidak disebut acak atau sporadis. Untuk mengentaskan keluarga miskin, Kementerian Sosial mengurus sekolah khusus untuk siswa miskin. Untuk menyiapkan siswa agar dapat masuk perguruan tinggi unggul, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi mengurus sekolah menengah atas. Kini, atas dicanangkannya program ini, Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjalani peran sebagai pendidik yang seharusnya diperankan para guru di sekolah. Terkait kurikulum misalnya, jika siswa meninggalkan sekolah untuk belajar di barak dalam periode waktu yang tidak sebentar, apa berarti TNI punya kurikulum sendiri dan boleh mengabaikan kurikulum pendidikan yang selama ini diikuti oleh para siswa di sekolah?
Ketiga, program ini mempertanyakan secara mendasar siapa yang lebih berperan besar bagi tumbuhnya anak yang berkarakter. Pandangan Bapak Gubernur, yang dikabarkan oleh sejumlah media, bahwa orangtua tidak dapat menyelesaikan permasalahan remaja menggaungkan kembali pandangan kontroversial yang dikemukakan oleh ilmuwan psikologi Amerika Serikat, Judith Rich Harris, bahwa orangtua berperan kecil dalam perkembangan anak. Menurut Harris, peran pengasuhan orang tua bagi perkembangan anak hanyalah asumsi belaka. Orang tua tidak memiliki pengaruh jangka panjang bagi perkembangan kepribadian anak, katanya. “Dulu saya percaya bahwa anak-anak perlu belajar tentang relasi dan aturan pada tahun-tahun pertama usia mereka… namun saya tidak lagi percaya bahwa pembelajaran awal ini, yang dalam masyarakat umumnya terjadi di rumah, menentukan pola terhadap apa yang terjadi selanjutnya. …isi dari apa yang dipelajari anak-anak mungkin tidak relevan dengan dunia di luar rumah mereka” (Harris, 2009). Dengan pandangan yang lebih moderat, penulis sejumlah buku sains Matt Ridley memandang peran orangtua masih penting, “menjadi orangtua yang baik itu tetap penting” (Ridley, 2003). Menurut Ridley, pengasuhan orangtua itu seperti vitamin C: asalkan cukup, agak sedikit atau agak banyak tidak memberikan efek jangka panjang yang kasat mata.
Lantas, jika bukan orangtua, siapa yang lebih berpengaruh terhadap perkembangan karakter anak? Harris menjawab teman sebaya (peer group). Dengan menyebut teorinya sebagai teori sosialisasi kelompok (group socialization theory), Harris berpandangan bahwa karakter anak berkembang dan berubah oleh pengalaman yang dimiliki saat mereka tumbuh, antara lain bersama teman sebaya. Dengan demikian, membangun anak berkarakter bukan hanya urusan orangtua mereka, bukan juga hanya urusan pendidik di sekolah, namun urusan yang lebih besar terkait tersedianya lingkungan sosial yang memungkinkan mereka mengidentifikasi dirinya dengan karakter-karakter tertentu. Maka, agar anak dapat tumbuh dengan karakter yang baik dengan tersedianya teman sebaya atau kelompok referensi yang sehat, polisi misalnya, dapat berperan menjaga agar lingkungan masyarakat tertib dari pelanggar hukum, dan militer berperan agar negara ini aman untuk ditinggali.
Keempat, program ini menjadi pelecut bagi pihak-pihak yang concern terhadap pendidikan, akademisi di perguruan tinggi, dan masyarakat pada umumnya, untuk mengambil peran dalam membantu mengatasi masalah remaja yang dinilai berperangai buruk oleh Bapak Gubernur. Peran yang diambil antara lain dengan melakukan kegiatan intervensi sosial yang dapat membantu mengatasi masalah remaja. Militer kembali ke barak itu untuk mengurus pertahanan negara, bukan mengurus masalah remaja yang mestinya dilakukan oleh sipil. Peran militer dalam mengatasi masalah ini dikhawatirkan kurang menyediakan intervensi yang efektif. Dalam pikiran Bapak Gubernur saat ini, akar masalah remaja adalah kedisiplinan semata sehingga perlu diperbaiki dengan gaya militer. Padahal, melibatkan sejumlah pihak yang kompeten mengatasi masalah remaja membuat pendekatan intervensi yang dilakukan jadi lebih komprehensif. Referensi dalam bidang psikologi moral misalnya, meyediakan analisis mengenai sejumlah penyebab masalah remaja, yakni perkembangan moral yang tertunda; cara berpikir yang mementingkan diri sendiri, dan defisit keterampilan sosial (Gibbs, 2014). Kegiatan intervensi yang dilakukan mestinya menyasar pada tiga penyebab tersebut.
Sebagai penutup, jika pembaca dengan kapasitas dan reputasi yang dimiliki terpaksa harus turut serta mengurus program ini, kita dapat belajar dari pengalaman Pak R Slamet Iman Santoso saat mendapat tugas mengurus Resimen Mahasiswa (Menwa) di Jakarta sekitar tahun1960an. Diceritakan dalam bukunya (Santoso, 1992), sesungguhnya saat itu beliau tidak setuju semua mahasiswa dilatih militer karena mahasiswa juga perlu dilatih kemampuan lain seperti sosial, medis, dan logistik. Karena ada banyak mahasiswa di Jakarta (saat itu ada 25 ribu mahasiswa) dan tidak mungkin dilatih bersamaan, Pak Slamet mengajukan diri kepada komandan militer di Jakarta untuk menyeleksi sendiri mahasiswa yang akan ikut pelatihan. Salah satu kriterianya adalah mahasiswa tidak boleh berkacamata. Dengan kriteria itu, saat dilakukan proses seleksi Pak Slamet tertawa geli karena ada kacamata yang berpindah-pindah akibat dipinjam mahasiswa yang sebenarnya tidak perlu kacamata namun berkacamata demi tidak lolos seleksi. Dengan proses seleksi ini, hanya ada 450 dari 25 ribu mahasiswa yang tersaring untuk dilatih kemiliteran. Saat hari peresmian latihan, pejabat tinggi yang hadir merasa puas dan seperti tidak ada kejanggalan apa-apa. Pak Slamet sekali lagi dibuat geli karena berhasil ‘mengelabui’ atasan. Belajar dari pengalaman Pak Slamet, sebuah program yang dinilai kurang tepat hanya akan jadi program lucu-lucuan dan dalam kelucuan itu kita tetap dapat berperan seperlunya sampai program tersebut diganti dengan program lain yang lebih baik.
Daftar Pustaka
Gibbs, J. C. (2014). Moral development and reality: Beyond the theories of Kohlberg, Hoffman, and Haidt (Third edition). Oxford University Press.
Harris, J. R. (2009). The Nurture Assumption: Why Children Turn Out the Way They Do. Free Press.
Lickona, T. (1999). Character Education: Seven Crucial Issues. Action in Teacher Education, 20(4), 77–84. https://doi.org/10.1080/01626620.1999.10462937
Ridley, M. (2003). The Agile Gene: How Nature Turns on Nurture. Parennial.
Santoso, R. S. I. (1992). Warna-warni Pengalaman Hidup. Penerbit Universitas Indonesia.
Waterworth, P. G. (2023). Towards a Moral Community: Moral Education Strategies in Indonesian Schools. KnE Social Sciences. https://doi.org/10.18502/kss.v8i8.13294